Kesehatan Pengalaman

Belajar Dari Riwayat Kesehatan Ibu Mertua

Keluarga Makkulau (dok Nur Terbit)
Ditulis oleh Bu Guru Siti

Andai dokter dan klinik sudah selengkap sekarang, tentu akan lain ceritanya dengan nasib ibu mertua saya. Nyawa beliau terenggut jauh sebelum Corona.

Ibu mertua saya  punya kisah yang memilukan. Kanker merenggut nyawanya di saat kami anak-anaknya termasuk saya mantunya yang guru dan dosen, berjuang mendapatkan obat dan perawatan medis di rumah sakit.

Ya, penyakit kanker itu begitu cepat reaksinya. Tak perlu menunggu bertahun-tahun. Dalam waktu singkat berhasil menyebar.

Dimulai dari payudara. Dibedah, dikemo, sampai buah dada rata tak tersisa. Terus menyebar ke rahim dan berakhir di otak. Nyawa ibu mertua pun tak terselamatkan.

Kemo juga sempat dijalani berkali-kali. Bahkan dokter yang menangani, sengaja sekolah ke luar negeri mendalami penyakit kanker. Ketika itu memang kanker masih terbilang penyakit baru, belum ditemukan obat dan cara penanganannya.

Tidak seperti sekarang. Sudah ada doktor spesialis dan rumah sakit khusus pasien kanker. Juga berdiri perkumpulan atau komunitas peduli kanker, sehingga penderitanya tidak merasa sendirian.

Bahkan, sudah ada Halodoc Salah satu solusi yang memudahkan kita bisa berkonsultasi kesehatan dengan dokter. Kenapa dianggap solusi?

Ya karena Halodoc adalah aplikasi yang memberikan solusi lengkap dan terpercaya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat Indonesia.

Guru-guru dari perwakilan PGRI Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi (dok pribadi)

Saya dan teman sesama guru dari perwakilan PGRI Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi (dok pribadi)

Andai saat itu saya sudah kenal Halodoc, tentu akan lain ceritanya. Ketika itu saja, riwayat dan lika-liku penderitaan ibu mertua sebagai penderita kanker, oleh dokternya, “kasus” ibu mertua saya dibawanya sampai ke bangku kuliah di luar negeri. Sang dokter mengambil pengalaman ibu saya sebagai pasiennya untuk study kasus.

Pulang dari luar negeri, sang dokter berhasil membawa pulang titel dokter spesialis kanker. Tapi, tak juga berhasil menemukan obat, dari penyakit yang diderita ibu mertua saya.

Beberapa tahun kemudian, adik ipar saya menemukan jawabannya. Dia kebetulan sarjana farmasi, lalu sekolah lagi dan sekolah lagi, hingga meraih gelar doktor dan diberi gelar guru besar atau profesor bidang farmasi. Dia temukan kumpulan resep obat ibunyam yang tak lain juga mertua saya.

Ternyata, tak ada satupun resep obat terkait penyakit kanker.

“Resep obat ibu, semuanya hanya obat penahan rasa sakit,” kata adik ipar saya, yang kini sudah menjabat dekan di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar, Sulsel.

Belajar Dari Pengalaman

Kata orang, pengalaman adalah guru yang baik. Karena itu, dari pengalaman ibu mertua saya menjalani perawatan di rumah sakit dan penanganan medis, membuat keluarga kami belajar dari pengalaman.

Begitu juga dengan situasi sekarang disaat negeri ini mewabah virus berbahaya.

Di musim pandemi Corona ini, masih banyak yang tidak memikirkan keselamatan dirinya.

Atau bisa jadi, juga karena kurang pengetahuan tentang Covid-19 ini.

Contohnya, suami saya Bang Nur Terbit dan teman-teman jurnalisnya, sebelum disosialisasikan protokol penanganan Corona, tidak merasa perlu melengkapi diri alat pengaman saat meliput berita di lapangan. Seperti masker dan lain-lain. Beda dengan wartawan di luar negeri.

Terkait adanya penyakit pandemi yang saat ini juga sudah menyebar, suami saya jadi ingat waktu kasus flu burung. Atau lebih dikenal dalam istilah medis H5N1. Kejadiannya sekitar tahun 2000-an.

Pakaian pengaman radiasi, mirip2 pakaian yang digunakan tim medis penanganan Corona (foto dok pribadi Bunda Sitti Rabiah)

Suami saya waktu itu masih reporter di lapangan, ikut hadir di lokasi acara penguburan dan pembakaran unggas yang mati karena terjangkit flu burung.

Lokasi acara di halaman Balai Rakyat Matraman Jakarta Timur. Hadir menteri, gubernur, kadis kesehatan, walikota, camat, lurah dan masyarakat setempat.

Acara ini juga diliput oleh selain wartawan ibukota RI, juga wartawan asing. Wartawan dari media luar negeri tersebut, datang ke lokasi liputan dengan memakai baju anti virus. Seluruh badan mereka tertutup seperti pakaian astronot.

Nah, mau tahu bagaimana dengan penampilan wartawan ibukota (media nasional) ketika itu?

Menurut cerita suami saya, wartawan Indonesia teman suami saya, gak pakai pengaman apa-apa loh, termasuk suami saya yang juga ikut hadir meliput. Bahkan, di antara teman-temannya wartawan sesama media nasional, ada yang dengan berani mengangkat bangkai unggas tersebut lalu memotretnya. Gak terlihat takut akan terjangkit virus flu burung.

Wartawan asing sampai heran melihat kami, jurnalis Indonesia, meliput virus berbahaya tanpa pengaman masker

Mereka mungkin pikir, ini wartawan Indonesia kebal penyakit kali ya? Berani amat memegang unggas yang terjangkit virus flu burung? hahaha….

Sekarang Virus Corona

KISAH ini tentang wabah virus Corona di sebuah kampung, di pinggiran Jakarta, dalam wilayah hukum Jabodetabek. Kisah yang bebas bergulir, tanpa bisa terkendalikan.

Dalam protokol penanggulangan Covid-19 oleh WHO, dikenal dengan beberapa penanganan. Untuk warga Ibukota misalnya, harus melalui prosedur rapid test Jakarta.

MASA KECIL DI KAMPUNG

Bersama suami di salah satu Mal di Kota Bekasi (foto dok pribadi)

Begitu juga jika keluar rumah harus menggunakan masker, menjaga jarak berdiri atau duduk di tempat umum, mencuci tangan dengan sabun. Untuk menghindari penularan virus atau suspect Covid-19.

Ini tujuannya demi menjaga dampak sosial bagi penderita. Hal yang perlu dihimbau bagi masyarakat adalah areal/lokasi penyebarannya.

Tapi, siapa yang bisa membendung informasi yang bebas berseliweran itu?Padahal di luar sana masih banyak orang dalam status pemantauan maupun sudah terduga Corona.

Sekali waktu, Gubernur DKI Anies Baswedan, mengumumkan ada warganya dalam pengawasan karena diduga terpapar virus Corona.

Beberapa hari kemudian, Menkes Letjen TNI (Purn) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad. (K)  melengkapi data tersebut dengan areal penyebaran visrus Corona.

Tidak begitu lama berselang, Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi:

Bermula 2 orang di Depok positif terjangkit Corona. Ibu dan anaknya

Bupati Cianjur gelar konfrensi pers: ada warga Bekasi yang datang menjenguk keluarganya di Cianjur, dan dirawat karena Corona. Orang ini sudah meninggal.

Lalu, seorang dokter wanita, melalui akun sosmednya, mencoba meluruskan bahwa ini dampak dari kepanikan masyarakat. Lalu ditangkap media dengan “bersemangat” memberitakan Corona.

Wartawan pun jadi sasaran dia bully. Sadis kan? Maka, ujung-ujungnya, sudah gampang ditebak.

Mengetik menggunakan laptop ASUS jadoel kesayangan (foto dok pribadi)

Berseliweranlah akhirnya berita-berita yang mengandung hoax. Paling tidak, patut diduga hoax. KOMINFO mencatat, sedikitnya sudah ada 241 berita hoax (bohong) tentang virus Corona tersebar di media sosial.

Kebanyakan melalui Instagram dan Facebook. Sejumlah pelakunya pun sudah ditahan polisi, dan segera menyusul jejak penyebar berita hoax lainnnya ke penjara.

Data Kominfo tahun 2018 juga menyebutkan, ada sekitar 90% informasi kesehatan yang viral melalui Facebook.

Data Dewan Pers, ada sekitar 95% info kesehatan di WhatsApp adalah Hoax.

Parahnya lagi, info kesehatan termasuk paling tinggi yang mengandung hoax. Menempati urutan ketiga setelah hoax tentang politik dan hoax pemerintahan (Bunda Sitti Rabiah)

Foto almarhuma ibu mertua dan bapak mertua (dok pribadi)

Tentang Penulis

Bu Guru Siti

Seorang ibu, juga seorang guru yang berusaha semaksimal mungkin mendedikasikan diri untuk mendidik putera-puteri Indonesia sepenuh hati dan menjaga sepenuh jiwa.

Berikan sebuah komentar