Liputan

Kenapa Perfilman Kita Masih Carut-marut?

(dok pribadi)
(dok pribadi)
Ditulis oleh Bu Guru Siti

Selasa, 9 Januari 2018 yang lalu, para insan perfilman yang tergabung alam “Peran Serta Masyarakat Perfilman” mengadakan sarasehan di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta.

Sarasehan yang terkesan santai tapi asyik, diawali dengan bincang-bincang seperti biasa tentang film, tapi kok lama-lama jadi serius. Ini mungkin karena moderatornya yang sangat lihai menggiring para peserta sarasehan yang hadir pada saat itu.

Suasana sarasehan (foto : Sitti Rabiah)

Suasana sarasehan (foto : Sitti Rabiah)

Bang Akhlis Suryapati selaku moderator acara sarasehan ini, merupakan seorang wartawan sekaligus aktivis perfilman, membuat suasana jadi enak, santai dan akrab.

Sarasehan ini dihadiri oleh beberapa awak media, penulis blog alias blogger, pemerhati film, produser. Di antaranya Kak Kusumo yaitu pendongeng Indonesia bahkan ada perwakilan dari Komisi X DPR RI yaitu Dadang Rusdiana.

Saya sendiri Bunda Sitti Rabiah hadir di acara ini atas nama blogger. Awalnya saya tidak terlalu menguasai tentang film, maklum biasanya hanya sebatas penonton saja di bioskop. Akan tetapi mendengar penuturan produser dari awal hingga akhir, barulah saya mengerti masalah yang dihadapi insan perfilman ini. Wah….sungguh amat mengenaskan.

Sarasehan ini bertujuan mengajak masyarakat untuk bekerja sama memperjuangkan perfilman ini agar bisa bangkit lagi. Bang Wina Armada sebagai kritikus dan wartawan senior juga banyak memaparkan kendala yang dihadapi para insan perfilman di lapangan.

Peserta sarasehan (foto : Sitti Rabiah)

Peserta sarasehan (foto : Sitti Rabiah)

Bang Wina Armada memaparkan secara fokus, bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran, atau tidak memenuhi kewajibannya dalam penyelenggaraan perfilman. “Ini bukan pendapat saya, melainkan sesuai undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman,” katanya.

Bang Wina juga menambahkan bahwa di Undang-undang ini sangat jelas disebutkan batas-waktunya, yaitu satu tahun setelah diundangkan harus menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Menteri. Namun sampai delapan tahun berjalan kewajiban itu tidak dipenuhi. Ada Apa ini?

Sejak empat atau lima tahun yang lalu, jika ditanya jawabannya selalu sudah dibahas, dipersiapkan, sudah di meja menteri, tinggal ditandatangani, dan sebagainya. Menurut Wina Armada, akibat dari ketiadaan peraturan turunan UU Perfilman itu , ketidakadilan pun berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan usaha perfilman.

Narsis dulu sebelum masuk ke ruang acara sarasehan (foto : dok pribadi)

Narsis dulu sebelum masuk ke ruang acara sarasehan (foto : dok pribadi)

Film Indonesia diperlakukan tidak adil, yang kuat menindas yang lemah. Para produser takut bersuara meskipun usaha filmnya merugi milyaran rupiah, karena kuatir semakin digencet dan tidak diberi kesempatan untuk bisa tetap memproduksi dan mengedarkan filmnya.

“Kami ini membuat film dengan dengan uang milyaran rupiah, Pak. Lenyap begitu saja, karena film kami tidak bisa beredar namun hanya diberi jatah sepuluh atau lima layar,” kata Evry Joe, seorang produser.

Narsis dulu sebelum masuk ke ruang acara sarasehan (foto : dok pribadi)

Tempat acara sarasehan Gedung Perfilman Usmar Ismail, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (foto : dok pribadi)

Tempat acara sarasehan Gedung Perfilman Usmar Ismail, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (foto : dok pribadi)

Bayangkan, ada 1500 layar bioskop di Indonesia, dan film Indonesia hanya main di 10 atau 15 layar bioskop. Hanya film-film tertentu milik produser tertentu yang diberi jatah 40 layar sampai 70 layar di hari-hari awal pertunjukan, kata produser film Evry Joe, yang terpaksa curhat dalam sarasehan ini.

Evry Joe menambahkan, “Kami ini seperti mengemis di negeri sendiri, Pak. Lalu dimana pelaksanaan undang-undang itu? Di mana komitmen pemerintah yang katanya ingin memajukan film Indonesia dan menjadikan film Indonesia tuan rumah di negara sendiri?”.

Menurut Evry Joe, akibatnya di antara produser film Indonesia sendiri terjadi saling curiga, tidak akur, merembet kepada para insan film, organisasi-organisasi perfilman tidak bisa kompak. Iklim perfilman menjadi tidak kondusif. Yang diuntungkan oleh keadaan seperti ini, ikut-ikutan nyinyir terhadap yang tertindas”.

Sementara itu Rully Sofyan dari Asrevi mengungkapkan, bahwa UU Perfilman benar-benar terjegal oleh kekuatan politik bisnis yang besar. “Ketika saya menjadi Pengurus Badan Perfilman Indonesia, ikut mengawal dan membahas masalah ini, beberapa Peraturan Pemerintah bahkan sudah ditandatangani oleh Menteri Parekraf pada waktu itu”.

Rully menambahkan bahwa, “Perlu sekali lagi ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena UU Perfilman mengaturnya demikian. Eh, ternyata masuk angin juga. Begitupun DPR yang semula sempat bersemangat membentuk Panja segala, akhirnya masuk angin juga, Jadi UU Perfilman memang terjegal”.

Serius mengikuti materi di acara sarasehan Gedung Perfilman Usmar Ismail, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (foto : dok pribadi)

Serius mengikuti materi di acara sarasehan Gedung Perfilman Usmar Ismail, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (foto : dok pribadi)

Dadang Rusdiana dari Anggota Komisi X DPR RI menyimak semua pemaparan dalam sarasehan ini, dan bertekad membawa aspirasi ini ke Komisi X DPR RI. “Tentu saja kami perlu terus menerus diingatkan dan didorong seperti ini, karena yang dibahas di DPR itu banyak sekali,” kata Dadang.

Dadang menambahkan bahwa, “Peran masyarakat melalui media, termasuk media sosial, sangat membantu dalam mendorong DPR maupun pemerintah untuk menindaklanjuti proses-proses legislasi dan monitoring sesuai fungsi dan tugasnya”.

Dadang Rusdiana berpendapat, UU Perfilman yang ada sudah cukup bagus dan memadai. Kebetulan juga tahun ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional di DPR-RI “Persoalannya memang pada Implementasi dan tidak diterbitkannya peraturan-peraturan turunanya oleh Pemerintah,” kata Dadang. Dadang juga mengakui bahwa UU Perfilman ini memang banyak yang mandul.

Nah…dalam rangka Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman bertajuk “Demi Film Pribumi” di Surabaya pada 2 dan 3 April 2018 mendatang, rencananya akan diadakan secara berkala terlebih dahulu dengan topik yang berbeda-beda.

Di akhir sarasehan ini Bang Akhlis Suryapati sebagai moderator mengatakan, ketika terjadi silang sengkarut pendapat dan tindakan yang merugikan Film Indonesia, maka kita menempatkan hukum atau peraturan menjadi acuan untuk mengkritisi semua itu.

Wow…sungguh indah dan keren kata-kata ini. Saya Bunda Sitti Rabiah atas nama blogger sangat setuju dengan pernyataan Bang Akhlis ini.

Semoga Perfilman di Indonesia bisa jadi tuan rumah di negara sendiri dan semoga para produser tidak lagi mengemis di negaranya sendiri. Semoga semuanya berjalan dengan lancar dan sukses. Amin Ya Rob.

Salam,

Bunda Sitti Rabiah

Tentang Penulis

Bu Guru Siti

Seorang ibu, juga seorang guru yang berusaha semaksimal mungkin mendedikasikan diri untuk mendidik putera-puteri Indonesia sepenuh hati dan menjaga sepenuh jiwa.

2 Komentar

Berikan sebuah komentar