Pengalaman

Masa Kecilku (Bagian 1) : Bermain Dengan Bebek di Sawah

Keluarga Makkulau (dok Nur Terbit)
Ditulis oleh Bu Guru Siti

Pada tahun 1970-an, kami adalah keluarga kecil dari pasangan Makkulau Lantik – Sitti Aisyah yang sangat bahagia. Hidup di lingkungan pertanian. Akrab dengan sawah dan ternak bebek.

Ayah kami adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Perkebunan Kotamadya Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Beliau menjabat sebagai Kepala Balai Pembibitan Pertanian, Dinas Perkebunan yang lokasinya berada di daerah Kampung Pai, Kecamatan Biringkanaya, Kotamadya Makassar.

Masa Kecilku di Kampung

Ayahku Makkulau Lantik (foto dok keluarga)

Kami 6 bersaudara, terdiri dari 5 perempuan dan 1 laki-laki adik bungsu kami yang masih bayi pada waktu itu. Kakak kami yang pertama, kedua dan ketiga sudah bersekolah, sedangkan saya dan adikku anak keempat dan kelima belum bersekolah.

Masa Kecilku di Kampung Sudiang Makassar

Bersama almarhumah Ibu, Kakak Adik, tanpa Ayah. Saya berdiri kedua dari kiri (foto dok Nur Terbit)

Masing-masing Hj. Fatmawati anak pertama,  Sitti Rabiah, S.Pd (Penulis) anak keempat, Hj. Siti Maryam anak kedua, Hj. Saenab anak kelima dan Hj. Suleha anak ketiga serta anak bungsu H Zakariah.

Kakak kami yang pertama itulah, yang sering membantu ibu untuk menjaga dan mengawasi adik-adiknya.

Sementara itu, ibu kami adalah ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya menjalani tugasnya sebagaimana layaknya seorang isteri sekaligus ibu bagi anak-anaknya yakni memasak, mencuci dan mendidik kami.

Kami tinggal berdelapan di sebuah rumah dinas milik perkebunan, dan rumah kami berada di tengah-tengah antara persawahan dan perkebunan.

Setiap hari ibu selalu berpesan, “jangan main kotor-kotoran ya, nanti susah mencucinya”. Dan itu masih sering terngiang-ngiang di telingaku hingga sekarang jika anak-anakku sendiri mulai bermain kotor-kotoran.

Suasana kehidupan di rumah dan sekeliling tempat tinggal kami di areal komplek pembibitan di mana ayah bertugas, ketika itu sangat sejuk dan nyaman.

Berbagai jenis pepohonan tumbuh dan dibiarkan rimbun. Setiap hari ibu kami memasak sayuran hasil dari kebun sendiri. Sungguh nikmat rasanya, makan sayuran segar tanpa harus mengkhawatirkan efek dari pestisida.

Sungguh pemandangan yang sangat indah dan asri, jika kami duduk di bawah pohon di siang hari. Dan Kami pun sungguh sangat senang tinggal di komplek pembibitan ini di mana hampir setiap saat dikunjungi siswa dari Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA, sekarang SMK). Mereka biasanya datang berpraktek langsung atau Praktek Keja Lapangan (PPL).

Sampai suatu saat  kakakku yang tertua bertanya pada ibuku, “Bu enak ya tinggal di sini, ini kan rumah kita ya bu?”.

Ibuku tidak menjawab, beliau hanya tersenyum sambil berpandangan dengan ayah. Almarhum ayahpun pada waktu itu, hanya menghela nafas panjang tanpa menjawab pertanyaan kakak kami.

Setiap hari saya, adik dan kakakku sering main di sekitar rumah. Kebetulan di belakang rumah kami, merupakan hamparan persawahan yang sangat luas.

Setiap hari pula kami melihat anak laki-laki menggembala kerbau dan memandikannya. Juga melihat bebek berenang di tepi pematang sawah. Atau pak tani yang membajak sawah dengan kerbaunya. Pemandangan yang sangat indah dan menyenangkan.

Masa Kecilku di Kampung

Salah satu rumah keluarga ibu di Bontorannu, Mariso, Kota Makassar yang sering didatangi oleh ibu. Nampak ibu menuruni tangga di rumah panggung khas Makassar sementara saya mengikuti dari belakang  (foto dok Nur Terbit),

Jika sore hari di kala kakak-kakakku sudah pulang sekolah, saya sering mengajak kakakku untuk bermain di sawah.

“Kak main yuk di belakang, siapa tahu kita dapat telur bebek”. 

Sambil berpamitan, kakakku berkata ke ibu:

“Ibu, boleh tidak kami berlima main ke sawah sambil mengawasi bebek kita bu?”.

Biasanya ibu tidak pernah melarang kami. Hanya saja ibu selalu berpesan kepada kakak kami,

“Jaga adik-adikmu ya, jangan sampai jatuh atau menginjak beling. Kalau ada lintah, hindari agar lintah tidak gemuk menghisap darahmu”.

Kami hanya bisa tertawa kegirangan karena kami tidak dilarang, namun tetap mengingat pesan ibu.

Lalu kami berlima yang semuanya perempuan itu menjadi terbiasa dan sering bermain di sawah belakang rumah. Waktu itu adik laki-lakiku yang bungsu masih bayi.

Terkadang kami turun ke sawah yang padinya sudah dipanen, sehingga sawahnya sudah kering dan hanya tertinggal tumpukan jerami bekas panen. Kami bermain di atas tumpukan jerami yang siap akan dibakar oleh pak tani.

Masa Kecil di Kampung

Ayah dan ibu kami : Makkulau Lantik – Sitti Aisyah (foto dok keluarga)

Kami terkadang diminta oleh ibu untuk mengawasi dan “meng-emba” (Bahasa Makassar) atau menggiring pulang bebek-bebek peliharaan ibu. Sesekali kami menemukan telur-telur bebek, yang terkadang ditinggal begitu saja oleh bebek-bebek yang entah bebek kepunyaan siapa.

Betapa banyak bebek berkeliaran. Bukan hanya bebek kami saja yang dilepas di persawahan, tapi masih banyak bebek-bebek yang lain yang dilepas dan mencari makanan di sela-sela tumpukan jerami. Suasana pedesaan yang indah dan mengesankan.

Bukan hanya itu saja. Sesekali kami juga ikut bersama ayah untuk berkeliling ke areal perkebunan dan lokasi pembibitan dengan memakai kendaraan traktor milik perkebunan, yang biasanya dipakai untuk mengangkut hasil panen.

Sepanjang jalan terlihat ayah mengawasi dan melihat-lihat pekerja kebun yang sedang bekerja. Dan memang itulah tugas ayah setiap harinya.

Ayah kami sangat senang dan kelihatan sangat bijak, ramah dan sangat familiar terhadap pekerjanya. Kami pun ikut senang melihatnya. Di sepanjang jalan, terkadang ayah kami disapa dengan senyum oleh para petani.

Terkadang ayah berteriak dari jauh dengan memakai bahasa Makassar yang artinya “bagaimana keadaan tanamanmu?”

Biasanya, begitu ayah turun dari traktor, dan kami berlima tetap di atas traktor. Para petani saling berdatangan dan berkumpul dan silih berganti yang entah apa yang ditanyakan, kami waktu itu belum mengerti apa-apa tentang tanaman.

Masa kecilku di kampung

Almarhumah Ibu dan keluarga duduk di tengah dan kami anak-anaknya menemani (berdiri di belakang ibu), saat bersilaturahmi ke rumah keluarga di Makassar (foto dok keluarga)

Jika panen jeruk atau coklat tiba, kami juga ikut memetik lalu memasukkan ke dalam karung untuk selanjutnya di bawa ke kantor koperasi yang ada di kebun pembibitan tersebut.

Tak hanya itu, kami juga ikut melihat para petani mencabut singkong dan ubi jalar. Begitu pun dengan berbagai jenis sayuran dan lain-lain sebagainya. Alangkah senangnya kami pada saat itu (Bersambung ke Bagian ke-2)

Masa Kecilku (Bagian 2) : Ayah Terserang Kanker Otak
Masa Kecilku (Bagian 3/Habis) : Sawah Berganti Bandara, Mal, Real Estate

Tentang Penulis

Bu Guru Siti

Seorang ibu, juga seorang guru yang berusaha semaksimal mungkin mendedikasikan diri untuk mendidik putera-puteri Indonesia sepenuh hati dan menjaga sepenuh jiwa.

Berikan sebuah komentar