Profil

Pahlawan Keluarga Dari Tepi Pagar Bandara Sultan Hasanuddin Makassar

Daeng Usman, tukang bubur keliling dari Kota Makassar (foto : Nur Terbit)
Daeng Usman, tukang bubur keliling dari Kota Makassar (foto : Nur Terbit)
Ditulis oleh Bu Guru Siti

BASSANG, BUBUR JAGUNG GAYA MAKASSAR

Di tengah suara bising pesawat yang mau “landing” (mendarat) di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, seorang pria paruh baya mengayuh sepeda.

“Bassang……bassang…., pagi-pagi sarapang bassang dulu Daeng…”

Meski suara pengendara sepeda ini seolah nyaris tidak terdengar. Tapi warga sekitar seperti sudah hapal dengan suara bel sepedanya. Tret….tret…tret. Ya, itulah suara bel sepeda Daeng Usman, penjual “Bassang” keliling. Bassang adalah semacam bubur jagung gaya Makassar yang cocok untuk dikonsumsi sebagai menu sarapan pagi.

Setiap pagi dari pukul 06.00 hingga 10.00 Wita, Daeng Usman sudah melintas di depan rumah kami. Mengayuh pedal sepeda butut kebanggaannya, tanpa kenal lelah. Mencari nafkah sebagai bagian dari profil seorang “pahlawan keluarga”. Daeng tidak punya pilihan pekerjaan lain selain sebagai penjual bubur keliling dan bertani saat musim tanam tiba.

“Saya juga inging seperti tetangga. Punya warung cuma duduk menunggu pembeli sambil pegang hengpong,” kata Daeng Usman, menceritakan usaha tetangganya mengelola bisnis online. Ya semacam KUDO www,kudo.co.id, kios untuk dagang online.

kudo_teknologi_indonesia_pt_fb

Dari balik topi yang juga tak kalah bututnya itu, menetes peluh bagai anak sungai. Itulah rutinitas Daeng Usman yang sudah dijalani lebih dari 20 tahun sebagai penjual Bassang.

Bunyi suara “treet…..treeet…teet” dari bel sepedanya, 9mengingatkan saya dengan suara penjual roti keliling di Jakarta. Itu pula menjadi ciri khas Daeng Usman sebagai penjual bubur jagung keliling.

“Siapa ero ki balli, Puang? Ruang rupa anne kubalukang, Bassang siagang Buburu…..”

(Berapa yang mau kita beli, Puang? Ada dua macam yang saya jual, Bassang dan Bubur),” kata Daeng Usman, penjual Bassang, bubur jagung a la Makassar, langganan keluarga kami, pagi tadi.

Bubur jagung yang dijajakan keliling oleh Daeng Usman sambil naik sepeda (foto : Nur Terbit)

Bubur jagung yang dijajakan keliling oleh Daeng Usman sambil naik sepeda (foto : Nur Terbit)

Bassang atau bubur jagung, terbuat dari bahan-bahan antara lain jagung kering yang sudah ditumbuk kasar, gula pasir, santan, beras untuk mengentalkan, dan garam.

Berikut cara membuatnya: jagung dan beras direbus sampai matang, lalu santan dan garam diturunkan dan diaduk. Kemudian santan dan garam disatukan dengan jagung yang sudah matang tadi ke dalam mangkuk sayur. Selanjutnya, ya tentu saja siap santap.

Harga Bassang cukup terjangkau, hanya Rp. 5000/mangkok sayur.

Di atas sepeda Daeng Usman, sedikitnya ada stok sekitar 30 mangkok. Atau kalau ditotal perkiraan jika terjual semuanya sekitar Rp. 150.000,- dalam satu wadah. Semacam panci besar.

Dengan omzet Rp. 150.000,- per wadah panci besar itulah, Daeng Usman membawa uang dapur untuk istrinya di rumah. Ketika ditanya modalnya, Si Daeng enggan berkomentar. “Ya, adalah untungnya sedikit, lumayang untuk kasih makangi anak istri di rumah, hehehe…”.

Kudo Indonesia

NYAMBI KERJA SELAIN BERTANI

Daeng Usman, adalah tercatat sebagai warga RW 13 Kampung Cedde, Laikang, Kelurahan Sudiang, Kecamatan Biringkanaya, kota Makassar. Tidak jauh dari pagar tembok Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.

Menjual bubur merupakan salah satu sandaran hidup keluarga Daeng Usman.

Berbeda dengan para tetangga yang memilih profesi sebagai tukang ojek motor, atau sopir angkot untuk menambah nafkah keluarga sebagai petani dan penggarap sawah.

Sejak persawahan di sekitar tempat tinggal Daeng Usman sudah berobah jadi “run away” — lahan tempat pendaratan pesawat setelah perluasan bandara baru, pekerjaan warga sehari-hari mulai serabutan.

Sawah yang biasanya dipanen 2 sekali setahun, kini tinggal dipanen sekali setahun. Lahan persawahan pun menyusut tersita areal bandara, sumber pengairan berkurang. Bahkan nyaris kekurangan air karena saluran air tertimbun dan tertutup proyek pembangunan bandara.

Arsitektur rumah warga termasuk yang ditempati bersama istri dan 5 anak, adalah masih ciri khas rumah khas etnis Makassar: rumah panggung. Sementara rumah tetangganya sudah memodivikasi sebagai rumah permanen dan lebih layak huni, pasca menerima uang ganti rugi pembebasan lahan bandara.

20160114_075801

Daeng Usman adalah pengecualian. Dia adalah warga yang masih dililit kemiskinanan. Satu-satunya sandaran hidup selain bertani, adalah menjadi penjual bubur keliling. Itu sudah cukup lama dijalaninya sebagai sumber mata pencaharian.

Saking lamanya setia dengan profesi sebagai penjual Bassang — usaha sandaran hidup keluarga satu-satunya — hampir seluruh warga sudah mengenalinya dengan baik. Terutama pelanggan setianya, tentu saja.

Cerita panjang kehidupan keluarga Daeng Usman memang cukup berliku.

Pada 7 Tahun pasca nikah, istrinya baru hamil namun mengalami keguguran. Dua tahun kemudian pada kehamilan kedua, barulah dikaruniai anak hingga lahir kelima anak-anaknya. Dari kelahiran semua anaknya, biaya persalinan mulai dari keguguran hingga melahirkan semuanya dari hasil tabungan menjual bassang.

Selain berkeliling menjual bubur jagung dengan mengendarai sepeda, Daeng Usman juga menerima order bassang dari pelanggannya. Seperti acara arisan keluarga, ngumpul-ngumpul keluarga, atau sarapan pagi untuk acara khitanan maupun pernikahan.

Selamat “bertugas” Daeng Usman.

Songsong matahari pagi ini, temui pelangganmu yang sudah menunggu. Semoga bassang daganganmu membawa berkah dari Allah SWT. Amin… (Sitti Rabiah)

Daeng Usman, tukang bubur keliling dari Kota Makassar (foto : Nur Terbit)

Daeng Usman, tukang bubur keliling dari Kota Makassar (foto : Nur Terbit)

Tentang Penulis

Bu Guru Siti

Seorang ibu, juga seorang guru yang berusaha semaksimal mungkin mendedikasikan diri untuk mendidik putera-puteri Indonesia sepenuh hati dan menjaga sepenuh jiwa.

4 Komentar

  • Salah satu kuliner Makassar yang baru saya coba, Coto Makassar. Kebetulan dulu yang masak orang asli Makassar. Sayangnya, beliau sudah pindah entah kemana.

    Saya jadi penasaran dengan Bassang ini. Apakah bentuknya mirip bubur pada umumnya? Ah, semoga saja di Bekasi ada yang menjual makanan khas Makassar. Biar saya tak penasaran lagi.

    Salam kenal Bu Guru 🙂

    • Oh, penggemar coto Makassar juga toh? Sama dong hehehe… trims nih mbak Ipeh Alena sudah ngasih komentar. Bassang atau buburjagung gaya makassar ini sama juga dengan bubur lain, hanya bahan baku saja berbeda karena pakai jagung.

      Setahu saya, belum pernah sih ketemu Bassang di Bekasi. Kita buka warung Bassang yuk hehehe…. Salam

  • Salam kenal bu guru Siti 🙂 Tinggal di Bekasi jg kah? Samaan kita 🙂 Luar biasa kisah Daeng yahh..Jadi penasaran bassang itu rasanya gimana.. Sama2 sukses lombanya ya bu 🙂

    • Salam kenal juga, iya kami di Bekasi Timur, bassang adalah makanan ciri khas orng Bugis Makassar, terbuat dari jagung dan pakai santan seperti layaknya bubur biasa.

Berikan sebuah komentar