Forum Peranserta Masyarakat Perfilman (FPMP) menyampaikan sikapnya soal pelaksanaan Festival Film Indonesia (FFI) pada Kamis, 9 November 2017 yang lalu pada acara “Pertemuan Unsur-unsur Pelaku Perfilman”, di gedung Film Jakarta.
FPMP menyampaikan sikapnya ini karena menyesalkan cara-cara pelaksanaan Festival Film Indonesia (FFI) 2017 yang diwarnai dengan berbagai pelanggaran Peraturan dan Perundang-undangan. Adapun butir isi dari pernyataan tersebut adalah
- Menyesalkan cara-cara pelaksanaan FFI 2017
- Tidak percaya hasil-hasil FFI 2017 sebagai kelanjutan dari sejarah diselenggarakannya FFI sejak 1955.
- Mendukung dilakukannya audit khusus pada dana APBN dan APBD yang dialokasikan untuk penyelenggaraan FFI dan BPI.
- Menyesalkan sikap pemerintah yang terus menerus tidak menepati janji untuk melaksanakan amanat Undang-undang Perfilman berupa menerbitkan Rencana Induk Perfilman Nasional (RIPN), serta Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri yang memberi perlindungan dalam tata edar.
Nicky Rewa salah satu produser yang sengaja khusus datang dari Makassar untuk acara pertemuan ini mengatakan, masalah tata edar ini sangat penting bagi kami sebagai pembuat film.
“Kami merasa benar-benar menjadi anak tiri di negeri sendiri”. Beliau sambil memperlihatkan skema peredaran film di jaringan bioskop.
FPMP bukan hanya menyampaikan sikapnya saja terhadap FFI 2017, akan tetapi juga menginginkan dilakukannya audit khusus pada dana APBN dan APBD yang dialokasikan untuk penyelenggaraan FFI dan Badan Perfilm Indonesia (BPI).
FPMP juga menginginkan agar BPI patuh pada undang-undang Perfilman yang selama ini menjadi dasar pembentukan dijalankannya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, sesuai dengan amanat Kongres BPI yang selalu bertindak terbuka, adil dan demokratis bagi seluruh unsur BPI.
Selain produser Nicky Rewa ada juga produser J Yansen Senjaya yang sangat kecewa karena filmnya yang terbaru hanya mendapatkan jatah sepuluh layar saat beredar, ini menunjukkan bahwa makin ke sini situasinya makin menuju penindasan terhadap Film Indonesia, itu kata Yansen.
Kusumo Priyono dari Organisasi Gasa mengatakan bahwa, kelanjutan acar ini akan mengadakan Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman Pribumi, sebagai langkah memperjuangkan Film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Kok memakai kata Masyarakat Perfilman Pribumi? “Kami memakai istilah pribumi, karena kenyataannya Film Indonesia masih dijajah oleh film asing,” itu kata Kusumo. Wah…sangat menyedihkan.
Rully Sofyan dari Asosiasi Rekaman Film dan Vidio (Asirevi) mengatakan bahwa BPI selama hampir setahun ini bekerja tidak amanah. Olehnya itu, semua pihak sepakat untuk menindaklanjuti menuju tahap yang konkret, konstruktif dan bermartabat.
Bukan hanya itu saja, tapi FPMP juga berharap bisa berkomunikasi dengan menteri yang membawahi perfilman, bahkan berharap bisa juga berkomunikasi dengan Komisi 10 DPR-RI. Tentu saja ini adalah salah satu bentuk kepedulian teramat tinggi terhadap peyelenggaraan perfilman di Indonesia.
Wartawan Senior dan Sutradara, Akhlis Suryapati menambahkan, semua ini adalah wujud peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan perfilman yang dijamin oleh undang-undang.
“Tentu saja ini sikap kepedulian yang baik bagi penyelenggaraan perfilman. Karena ada kutipan dialog dalam sebuah film; kalau orang baik diam, kejahatan merajalela,” kata Akhlis yang mengatur jalannya bincang-bincng pertemuan FPMP ini.
Akhirnya kita semua berharap semoga perfilman di Indonesia lebih baik dan lebih diperhatikan oleh pemerintah, dan bukan dianak tirikan. Hanya ini yang kami bisa lakukan semoga FFI sukses dan berjalan dengan baik dan lancar.
Kamiselalu menunggu karya-karya film yang terbaik untuk masyarakat Indonesia.
Maju terus film Indonesia !! (Bunda Sitti Rabiah)